Have an account?

Thursday, April 08, 2004

Ketika Cantik Menjadi Segalanya......di Korea

Ketika Cantik Menjadi Segalanya......di Korea



Koreans look at beauty different from Westerners who think of beauty only as beauty. To as, morality and realistic consciousness are contained in beauty. The characteristic of nature of Korean beauty is the combination of Morality and Beauty.

Itulah penuturan Lee O-young, mantan Menteri Kebudayaan Korea, dalam sebuah essaynya (Ch'unhyang and Helen, 1963) ketika mengkomparasikan kecantikan Ch'unhyang dan Helen. Dua wanita dari dua kutub dunia yang berbeda, Timur dan Barat.

Ingat atau sudah nonton film layar lebar anyar berjudul Troy? Film tentang kisah klasik Yunani, Perang Troya, akan mengingatkan kembali pada kecantikan Helen. Perebutan si cantik jelita Helen menyebabkan pertumpahan darah selama 10 tahun. Helen sendiri hidup bermegah-megahan dengan orang yang merebutnya, sementara suaminya mengorbankan ratusan nyawa untuk mendapatkannya kembali. Bagi orang Korea, kecantikan Helen adalah kecantikan yang tidak dilandasi dengan moralitas.

Dalam kisah klasik Korea, adalah Ch'unhyang yang cantik yang lebih memilih dipermalukan bahkan dieksekusi daripada jatuh kepelukan Gubernur Pyon Hak-to. Loyalitas Ch'unhyang pada suaminya dan kerelaannya mati untuk mencegah berlanjutnya pertumpahan darah antara suaminya dan sang gubernur menunjukkan kecantikan Ch'unhyang yang disertai moralitas yang tinggi.

Sungguh dua kisah yang kontradiktif. Ch'unhyang ibarat bunga Chrysanthemum yang mekar di tengah badai salju dan muncul sebagai kecantikan paling ideal. Sedang Helen ibarat mawar yang menawarkan kecantikan sekaligus bisa menimbulkan luka. Kecantikan tanpa kepribadian.

Kini menginjak tahun 2004, empat puluh tahun setelah Lee O-young menulis essaynya. Defenisi kecantikan di mata orang Korea ternyata telah mengalami pergeseran. Kecantikan ideal tidak lagi berada pada titik keseimbangan moralitas (inner beauty) dan kenyataan (physical beauty). Saat ini, penilaian berlebihan pada kecantikan fisik telah sampai pada titik kritis.

Kecantikan hanya diartikan memiliki rupa yang cantik (eoljjang) atau bentuk badan yang ideal (momjjang). Syndrome ini telah mendorong banyak wanita untuk merubah penampilannya dengan cara apapun, termasuk dengan cosmetic surgery. Dorongan untuk melakukan operasi plastik tersebut lebih diperparah dengan fakta bahwa hampir 79% wanita Korea (responden) tidak puas dengan penampilan mereka, bahkan 32%-nya lagi mengalami diskriminasi sosial menyangkut penampilan mereka ketika mencari kerja atau bahkan ketika kencan dengan pasangannya (The Korean Herald, March 9, 2004).

Obsesi untuk menjadi cantik sepertinya telah menjadi sebuah bencana. Trend ini lebih mendekati sebuah gejala penyakit mental masyarakat. Pernah membayangkan konsekuensi dari semua itu? Konsekuensi yang timbul dari beratnya beban untuk menjadi cantik? Sebuah kisah nyata terjadi baru-baru ini. Seorang gadis berusia 25 tahun di salah satu kota di selatan Korea lebih memilih terjun bebas dari apartemennya hanya karena harapannya untuk cantik dengan operasi plastik tidak terpenuhi. Menurut hasil survey, rata-rata sekitar 1.5 juta won per bulan dikeluarkan oleh satu orang wanita Korea untuk sekedar tampil cantik atau menarik. Nilai yang setara dengan separuh dari penghasilan pekerja yang cukup mapan di Korea.

Sebesar itukah harga sebuah kecantikan?

Mungkin pendapat seorang psikolog bisa menjadi bahan sebuah perenungan.
Though you don't have a pretty face, you may have a lot of other abilities. You must find them out and develop them. You must know facial beauty is not the most important thing in your life.

Seoul, April 7, 2004 (usai Pemilu)

(ditulis selama memantau Pemilu......efek samping dari kegiatan "mantau" kali ye......hahahaha. Special thanks to mba' Loeloe......atas editannya ~~)