Have an account?

Tuesday, July 06, 2004

Pernikahan : Keharusan atau Sebuah Pilihan? (Melajang, Gaya Hidup Baru Wanita Korea)

Pernikahan : Keharusan atau Sebuah Pilihan?
(Melajang, Gaya Hidup Baru Wanita Korea)


Pernikahan. Kata ini yang kerapkali saya temui belakangan ini lewat tulisan di blog, percakapan ringan dengan teman, sindiran rekan kerja yang telah menikah, pertanyaan sekedar lewat dari seorang kenalan hingga percakapan per telepon dengan keluarga di rumah. Terus terang, di usia yang sudah matang dan layak untuk itu, masih ada keraguan untuk menentukan sikap, apakah saya akan menikah sekarang, nanti atau tidak sama sekali. Banyak hal yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan sebelum melangkah ke arah sana.

Berbicara tentang pernikahan dan keluarga (di Korea), saya jadi teringat kelas dari salah seorang Professor yang saya ikuti beberapa hari yang lalu. Kuliah tentang Forest Ecology Management and Policy, tapi ternyata melebar ke perubahan makna keluarga di Korea saat ini. Beliau mengatakan bahwa di awal pelaksanaan Program Keluarga Berencana, pemerintah mendorong masyarakat untuk ikut program tersebut, dan hasilnya boleh dikata Korea merupakan salah satu negara yang sukses menekan laju pertumbuhan penduduknya. Keluarga besar tergantikan dengan keluarga inti, mungkin serupa dengan program KB di Indonesia yang berslogan 'Dua Anak Cukup'.

Akibat kebijakan tersebut terjadi komposisi penduduk yang tidak seimbang antara generasi tua dan muda. Jumlah anggota keluarga yang beranggotakan empat orang (ayah, ibu dan dua orang anak) semakin menurun. Saat ini sebagian besar keluarga terdiri dari tiga orang anggota saja, suami, istri dan seorang anak, atau bahkan tanpa anak sama sekali. Bayangkan saja, menurut Organization for Economic Cooperation and Development, Korea menempati peringkat pertama di dunia dalam hal jumlah anak terkecil dalam keluarga. Melihat kondisi tersebut, kini pemerintah mendorong setiap keluarga untuk mempunyai anak. Salah satu upayanya adalah dengan memberikan tunjangan kepada keluarga yang mempunyai anak.

Namun tampaknya, pemerintah harus bekerja lebih keras lagi karena adanya kecenderungan di kalangan generasi muda untuk hidup melajang. Menurut data sensus yang dikeluarkan National Statistical Office Korsel (NSO) proporsi pria lajang berusia 25 - 29 tahun meningkat hampir 2 kali lipat dari 43.3% pada tahun 1970 menjadi 71% di tahun 2000. Sedangkan proporsi pria lajang berusia 30 - 34 tahun sebesar 28.1% di tahun 2000, atau meningkat dari hanya 6.4% di tahun 1970.

Bagaimana dengan proporsi wanita yang belum menikah? Sekitar 40.1% wanita berusia 25 - 29, usia yang lazim bagi wanita Korea untuk menikah, memilih untuk hidup sendiri. Persentase ini meningkat hampir dua kali lipat dari tahun 1990 (22.1%) atau hampir 5 kali lipat dibanding tahun 1970 (1.4%).

Data di atas menunjukkan bahwa dalam tiga dasawarsa yang sama persentase wanita lajang usia yang lazim untuk menikah meningkat lima kali lipat dibanding pria yang hanya meningkat dua kali lipat. Alasan kenapa pria cenderung untuk tetap melajang menurut survey adalah menurunnya kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang mapan sedangkan bagi wanita memprioritaskan pendidikan dan karir.

Ada lagi alasan yang menyebabkan wanita yang berpendidikan tinggi cenderung untuk memilih karir daripada menikah. Dalam sistem patriarki yang kental yang dianut masyarakat Korea, pria atau suami memiliki dominasi penuh terhadap wanita atau istri. Sekali wanita melangkahkan kakinya menuju gerbang pernikahan maka ia harus dengan rela melepaskan semua keinginannya dan siap untuk menjalankan tugasnya melayani suami dan keluarga sepenuhnya, baik keluarganya sendiri maupun keluarga dari pihak suami (mertua). Sebuah pengorbanan yang sangat besar terutama bagi wanita yang mempunyai karir yang sedang menanjak.

Agaknya trend baru ini sedikit demi sedikit mulai diterima oleh masyarakat Korea. Hal ini bisa dilihat dari begitu digemarinya beberapa serial TV dan film yang mengangkat tema hidup melajang. Film dan sinetron tersebut beberapa tahun terakhir sedikit banyak telah merubah pandangan masyarakat tentang pernikahan ke arah yang lebih moderat. Wanita Korea tidak lagi merasa terpaksa menghadiri blind date yang diatur untuknya kemudian menikah untuk menyenangkan keluarganya dan memenuhi tuntutan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Jika saat ini, anda bertanya pada wanita usia 20-an dan awal 30-an tentang pernikahan, mungkin mereka akan mengatakan pernikahan bukanlah lagi sebuah keharusan untuk dijalani tetapi lebih sebagai sebuah pilihan. Saya jadi teringat apa yang pernah ditulis oleh Ayu Utami; Jika hidup melajang lebih nyaman, kenapa harus menikah?

1 comment:

Anonymous said...

melajang... = baiiiikkk..
saat masih ada perceraian didunia ini,, melajang adalah pilihan tepat.
karna dengan melajan, Qta tidak menyakiti perasaan orang lain, terlebih pasangan Qta..
menikah = baik,, asalkan alasannya benar2 karena cinta dan kasih sayang...