(Melajang, Gaya Hidup Baru Wanita Korea)
Pernikahan. Kata ini yang kerapkali saya temui belakangan ini lewat tulisan di blog, percakapan ringan dengan teman, sindiran rekan kerja yang telah menikah, pertanyaan sekedar lewat dari seorang kenalan hingga percakapan per telepon dengan keluarga di rumah. Terus terang, di usia yang sudah matang dan layak untuk itu, masih ada keraguan untuk menentukan sikap, apakah saya akan menikah sekarang, nanti atau tidak sama sekali. Banyak hal yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan sebelum melangkah ke arah sana.
Berbicara tentang pernikahan dan keluarga (di Korea), saya jadi teringat kelas dari salah seorang Professor yang saya ikuti beberapa hari yang lalu. Kuliah tentang Forest Ecology Management and Policy, tapi ternyata melebar ke perubahan makna keluarga di Korea saat ini. Beliau mengatakan bahwa di awal pelaksanaan Program Keluarga Berencana, pemerintah mendorong masyarakat untuk ikut program tersebut, dan hasilnya boleh dikata Korea merupakan salah satu negara yang sukses menekan laju pertumbuhan penduduknya. Keluarga besar tergantikan dengan keluarga inti, mungkin serupa dengan program KB di Indonesia yang berslogan 'Dua Anak Cukup'.
Akibat kebijakan tersebut terjadi komposisi penduduk yang tidak seimbang antara generasi tua dan muda. Jumlah anggota keluarga yang beranggotakan empat orang (ayah, ibu dan dua orang anak) semakin menurun. Saat ini sebagian besar keluarga terdiri dari tiga orang anggota saja, suami, istri dan seorang anak, atau bahkan tanpa anak sama sekali. Bayangkan saja, menurut Organization for Economic Cooperation and Development, Korea menempati peringkat pertama di dunia dalam hal jumlah anak terkecil dalam keluarga. Melihat kondisi tersebut, kini pemerintah mendorong setiap keluarga untuk mempunyai anak. Salah satu upayanya adalah dengan memberikan tunjangan kepada keluarga yang mempunyai anak.

Bagaimana dengan proporsi wanita yang belum menikah? Sekitar 40.1% wanita berusia 25 - 29, usia yang lazim bagi wanita Korea untuk menikah, memilih untuk hidup sendiri. Persentase ini meningkat hampir dua kali lipat dari tahun 1990 (22.1%) atau hampir 5 kali lipat dibanding tahun 1970 (1.4%).
Data di atas menunjukkan bahwa dalam tiga dasawarsa yang sama persentase wanita lajang usia yang lazim untuk menikah meningkat lima kali lipat dibanding pria yang hanya meningkat dua kali lipat. Alasan kenapa pria cenderung untuk tetap melajang menurut survey adalah menurunnya kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang mapan sedangkan bagi wanita memprioritaskan pendidikan dan karir.
Ada lagi alasan yang menyebabkan wanita yang berpendidikan tinggi cenderung untuk memilih karir daripada menikah. Dalam sistem patriarki yang kental yang dianut masyarakat Korea, pria atau suami memiliki dominasi penuh terhadap wanita atau istri. Sekali wanita melangkahkan kakinya menuju gerbang pernikahan maka ia harus dengan rela melepaskan semua keinginannya dan siap untuk menjalankan tugasnya melayani suami dan keluarga sepenuhnya, baik keluarganya sendiri maupun keluarga dari pihak suami (mertua). Sebuah pengorbanan yang sangat besar terutama bagi wanita yang mempunyai karir yang sedang menanjak.

Jika saat ini, anda bertanya pada wanita usia 20-an dan awal 30-an tentang pernikahan, mungkin mereka akan mengatakan pernikahan bukanlah lagi sebuah keharusan untuk dijalani tetapi lebih sebagai sebuah pilihan. Saya jadi teringat apa yang pernah ditulis oleh Ayu Utami; Jika hidup melajang lebih nyaman, kenapa harus menikah?
1 comment:
melajang... = baiiiikkk..
saat masih ada perceraian didunia ini,, melajang adalah pilihan tepat.
karna dengan melajan, Qta tidak menyakiti perasaan orang lain, terlebih pasangan Qta..
menikah = baik,, asalkan alasannya benar2 karena cinta dan kasih sayang...
Post a Comment