Akhir yang Bahagia
Aku sudah cari bintang baru pakai teropongnya...
Dapat?
Nggak...karena nggak semua bintang mesti ada di langit. Yang di sini sinarnya lebih terang dari yang lain...
Dialog di atas dikutip dari epilog Biarkan Bintang Menari. Seperti halnya film romantis lainnya, sebutlah saja Prince and Me, The Princess Diary, Eurotrip atau The Girl Next Door, atau seperti dongeng sebelum tidur yang sering dibacakan seorang ibu kepada anaknya, film ini juga berakhir dengan bahagia. Kenapa setiap dongeng atau cerita romantis harus selalu berakhir dengan kebahagiaan? Mengajarkan nilai positif bahwa hidup dijalani untuk mencapai kebahagiaan ataukah malah mengajak untuk bermimpi? Entahlah...
Mengapa setiap dongeng atau cerita romantis harus berakhir dengan bahagia dan ditutup dengan impian-impian terwujud? Sebagai pendongeng, saya tidak mempunyai jawabannya. Tapi sebagai seorang pemimpi saya akan berkata Siapa yang ingin bangun di tengah malam dan mendapati langitnya tak berbintang? Siapa yang ingin menjalani cerita hidup tanpa diakhiri kalimat bahagia sampai akhir jaman? Bukan saya, dan yang pasti juga......bukan anda.
*Awal dan akhir dikutip dari Biarkan Bintang Menari...~~~
(Maaf, bukannya malas update, tapi lagi pusing dengan tugas akhir.)
Friday, July 30, 2004
Wednesday, July 21, 2004
Domestic Violence
Domestic Violence
Selama ini berita kriminal televisi selalu menyajikan kekerasan domestik dengan wanita sebagai korban. Wanita dari berbagai strata dan latar belakang pendidikan, mulai dari pembantu sampai artis terkenal seperti Ayu Azhari atau Nur Afni Octavia. Tampilan wajah yang lebam, penuh isak tangis bahkan histeris hingga mengundang rasa iba.
Satu tanya masih menggantung di benak saya saat ini. Kenapa wanita selalu menjadi titik sentral perhatian ketika kekerasan domestik terjadi? Sampai-sampai Ayu Utami menjadikan itu sebagai alasan ketimpangan gender. Mungkin karena ketidakberdayaan wanita untuk meredam kekerasan, sedang pria dianugerahi kekuatan untuk melindungi diri dan meredam kekerasan yang diarahkan kepadanya? Bisa jadi...
Paham patriarki yang katanya memberikan supremasi hukum akan dominasi pria terhadap wanita juga dianggap pemicu kekerasan domestik terhadap wanita. Mungkin ada benarnya, tapi kalau kita bandingkan dengan Korea yang sangat memegang kuat paham ini dan menengok data yang dirilis Korea Men's Hot Line, dikatakan bahwa dari 1.142 pria yang mengadu, sekitar 30% mengalami penganiayaan fisik dan sebanyak 70% dianiaya secara verbal oleh istri mereka. Jadi jangan salah, kekerasan domestik tidak hanya dialami oleh wanita saja.
(Mau tau apa komentar teman (cewek) saya dari Malaysia tentang postingan ini? Woww...cewek Korea memang hebat!!! ~~~)
Selama ini berita kriminal televisi selalu menyajikan kekerasan domestik dengan wanita sebagai korban. Wanita dari berbagai strata dan latar belakang pendidikan, mulai dari pembantu sampai artis terkenal seperti Ayu Azhari atau Nur Afni Octavia. Tampilan wajah yang lebam, penuh isak tangis bahkan histeris hingga mengundang rasa iba.
Satu tanya masih menggantung di benak saya saat ini. Kenapa wanita selalu menjadi titik sentral perhatian ketika kekerasan domestik terjadi? Sampai-sampai Ayu Utami menjadikan itu sebagai alasan ketimpangan gender. Mungkin karena ketidakberdayaan wanita untuk meredam kekerasan, sedang pria dianugerahi kekuatan untuk melindungi diri dan meredam kekerasan yang diarahkan kepadanya? Bisa jadi...
Paham patriarki yang katanya memberikan supremasi hukum akan dominasi pria terhadap wanita juga dianggap pemicu kekerasan domestik terhadap wanita. Mungkin ada benarnya, tapi kalau kita bandingkan dengan Korea yang sangat memegang kuat paham ini dan menengok data yang dirilis Korea Men's Hot Line, dikatakan bahwa dari 1.142 pria yang mengadu, sekitar 30% mengalami penganiayaan fisik dan sebanyak 70% dianiaya secara verbal oleh istri mereka. Jadi jangan salah, kekerasan domestik tidak hanya dialami oleh wanita saja.
(Mau tau apa komentar teman (cewek) saya dari Malaysia tentang postingan ini? Woww...cewek Korea memang hebat!!! ~~~)
Tuesday, July 06, 2004
Pernikahan : Keharusan atau Sebuah Pilihan? (Melajang, Gaya Hidup Baru Wanita Korea)
Pernikahan : Keharusan atau Sebuah Pilihan?
(Melajang, Gaya Hidup Baru Wanita Korea)
Pernikahan. Kata ini yang kerapkali saya temui belakangan ini lewat tulisan di blog, percakapan ringan dengan teman, sindiran rekan kerja yang telah menikah, pertanyaan sekedar lewat dari seorang kenalan hingga percakapan per telepon dengan keluarga di rumah. Terus terang, di usia yang sudah matang dan layak untuk itu, masih ada keraguan untuk menentukan sikap, apakah saya akan menikah sekarang, nanti atau tidak sama sekali. Banyak hal yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan sebelum melangkah ke arah sana.
Berbicara tentang pernikahan dan keluarga (di Korea), saya jadi teringat kelas dari salah seorang Professor yang saya ikuti beberapa hari yang lalu. Kuliah tentang Forest Ecology Management and Policy, tapi ternyata melebar ke perubahan makna keluarga di Korea saat ini. Beliau mengatakan bahwa di awal pelaksanaan Program Keluarga Berencana, pemerintah mendorong masyarakat untuk ikut program tersebut, dan hasilnya boleh dikata Korea merupakan salah satu negara yang sukses menekan laju pertumbuhan penduduknya. Keluarga besar tergantikan dengan keluarga inti, mungkin serupa dengan program KB di Indonesia yang berslogan 'Dua Anak Cukup'.
Akibat kebijakan tersebut terjadi komposisi penduduk yang tidak seimbang antara generasi tua dan muda. Jumlah anggota keluarga yang beranggotakan empat orang (ayah, ibu dan dua orang anak) semakin menurun. Saat ini sebagian besar keluarga terdiri dari tiga orang anggota saja, suami, istri dan seorang anak, atau bahkan tanpa anak sama sekali. Bayangkan saja, menurut Organization for Economic Cooperation and Development, Korea menempati peringkat pertama di dunia dalam hal jumlah anak terkecil dalam keluarga. Melihat kondisi tersebut, kini pemerintah mendorong setiap keluarga untuk mempunyai anak. Salah satu upayanya adalah dengan memberikan tunjangan kepada keluarga yang mempunyai anak.
Namun tampaknya, pemerintah harus bekerja lebih keras lagi karena adanya kecenderungan di kalangan generasi muda untuk hidup melajang. Menurut data sensus yang dikeluarkan National Statistical Office Korsel (NSO) proporsi pria lajang berusia 25 - 29 tahun meningkat hampir 2 kali lipat dari 43.3% pada tahun 1970 menjadi 71% di tahun 2000. Sedangkan proporsi pria lajang berusia 30 - 34 tahun sebesar 28.1% di tahun 2000, atau meningkat dari hanya 6.4% di tahun 1970.
Bagaimana dengan proporsi wanita yang belum menikah? Sekitar 40.1% wanita berusia 25 - 29, usia yang lazim bagi wanita Korea untuk menikah, memilih untuk hidup sendiri. Persentase ini meningkat hampir dua kali lipat dari tahun 1990 (22.1%) atau hampir 5 kali lipat dibanding tahun 1970 (1.4%).
Data di atas menunjukkan bahwa dalam tiga dasawarsa yang sama persentase wanita lajang usia yang lazim untuk menikah meningkat lima kali lipat dibanding pria yang hanya meningkat dua kali lipat. Alasan kenapa pria cenderung untuk tetap melajang menurut survey adalah menurunnya kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang mapan sedangkan bagi wanita memprioritaskan pendidikan dan karir.
Ada lagi alasan yang menyebabkan wanita yang berpendidikan tinggi cenderung untuk memilih karir daripada menikah. Dalam sistem patriarki yang kental yang dianut masyarakat Korea, pria atau suami memiliki dominasi penuh terhadap wanita atau istri. Sekali wanita melangkahkan kakinya menuju gerbang pernikahan maka ia harus dengan rela melepaskan semua keinginannya dan siap untuk menjalankan tugasnya melayani suami dan keluarga sepenuhnya, baik keluarganya sendiri maupun keluarga dari pihak suami (mertua). Sebuah pengorbanan yang sangat besar terutama bagi wanita yang mempunyai karir yang sedang menanjak.
Agaknya trend baru ini sedikit demi sedikit mulai diterima oleh masyarakat Korea. Hal ini bisa dilihat dari begitu digemarinya beberapa serial TV dan film yang mengangkat tema hidup melajang. Film dan sinetron tersebut beberapa tahun terakhir sedikit banyak telah merubah pandangan masyarakat tentang pernikahan ke arah yang lebih moderat. Wanita Korea tidak lagi merasa terpaksa menghadiri blind date yang diatur untuknya kemudian menikah untuk menyenangkan keluarganya dan memenuhi tuntutan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Jika saat ini, anda bertanya pada wanita usia 20-an dan awal 30-an tentang pernikahan, mungkin mereka akan mengatakan pernikahan bukanlah lagi sebuah keharusan untuk dijalani tetapi lebih sebagai sebuah pilihan. Saya jadi teringat apa yang pernah ditulis oleh Ayu Utami; Jika hidup melajang lebih nyaman, kenapa harus menikah?
(Melajang, Gaya Hidup Baru Wanita Korea)
Pernikahan. Kata ini yang kerapkali saya temui belakangan ini lewat tulisan di blog, percakapan ringan dengan teman, sindiran rekan kerja yang telah menikah, pertanyaan sekedar lewat dari seorang kenalan hingga percakapan per telepon dengan keluarga di rumah. Terus terang, di usia yang sudah matang dan layak untuk itu, masih ada keraguan untuk menentukan sikap, apakah saya akan menikah sekarang, nanti atau tidak sama sekali. Banyak hal yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan sebelum melangkah ke arah sana.
Berbicara tentang pernikahan dan keluarga (di Korea), saya jadi teringat kelas dari salah seorang Professor yang saya ikuti beberapa hari yang lalu. Kuliah tentang Forest Ecology Management and Policy, tapi ternyata melebar ke perubahan makna keluarga di Korea saat ini. Beliau mengatakan bahwa di awal pelaksanaan Program Keluarga Berencana, pemerintah mendorong masyarakat untuk ikut program tersebut, dan hasilnya boleh dikata Korea merupakan salah satu negara yang sukses menekan laju pertumbuhan penduduknya. Keluarga besar tergantikan dengan keluarga inti, mungkin serupa dengan program KB di Indonesia yang berslogan 'Dua Anak Cukup'.
Akibat kebijakan tersebut terjadi komposisi penduduk yang tidak seimbang antara generasi tua dan muda. Jumlah anggota keluarga yang beranggotakan empat orang (ayah, ibu dan dua orang anak) semakin menurun. Saat ini sebagian besar keluarga terdiri dari tiga orang anggota saja, suami, istri dan seorang anak, atau bahkan tanpa anak sama sekali. Bayangkan saja, menurut Organization for Economic Cooperation and Development, Korea menempati peringkat pertama di dunia dalam hal jumlah anak terkecil dalam keluarga. Melihat kondisi tersebut, kini pemerintah mendorong setiap keluarga untuk mempunyai anak. Salah satu upayanya adalah dengan memberikan tunjangan kepada keluarga yang mempunyai anak.
Namun tampaknya, pemerintah harus bekerja lebih keras lagi karena adanya kecenderungan di kalangan generasi muda untuk hidup melajang. Menurut data sensus yang dikeluarkan National Statistical Office Korsel (NSO) proporsi pria lajang berusia 25 - 29 tahun meningkat hampir 2 kali lipat dari 43.3% pada tahun 1970 menjadi 71% di tahun 2000. Sedangkan proporsi pria lajang berusia 30 - 34 tahun sebesar 28.1% di tahun 2000, atau meningkat dari hanya 6.4% di tahun 1970.
Bagaimana dengan proporsi wanita yang belum menikah? Sekitar 40.1% wanita berusia 25 - 29, usia yang lazim bagi wanita Korea untuk menikah, memilih untuk hidup sendiri. Persentase ini meningkat hampir dua kali lipat dari tahun 1990 (22.1%) atau hampir 5 kali lipat dibanding tahun 1970 (1.4%).
Data di atas menunjukkan bahwa dalam tiga dasawarsa yang sama persentase wanita lajang usia yang lazim untuk menikah meningkat lima kali lipat dibanding pria yang hanya meningkat dua kali lipat. Alasan kenapa pria cenderung untuk tetap melajang menurut survey adalah menurunnya kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang mapan sedangkan bagi wanita memprioritaskan pendidikan dan karir.
Ada lagi alasan yang menyebabkan wanita yang berpendidikan tinggi cenderung untuk memilih karir daripada menikah. Dalam sistem patriarki yang kental yang dianut masyarakat Korea, pria atau suami memiliki dominasi penuh terhadap wanita atau istri. Sekali wanita melangkahkan kakinya menuju gerbang pernikahan maka ia harus dengan rela melepaskan semua keinginannya dan siap untuk menjalankan tugasnya melayani suami dan keluarga sepenuhnya, baik keluarganya sendiri maupun keluarga dari pihak suami (mertua). Sebuah pengorbanan yang sangat besar terutama bagi wanita yang mempunyai karir yang sedang menanjak.
Agaknya trend baru ini sedikit demi sedikit mulai diterima oleh masyarakat Korea. Hal ini bisa dilihat dari begitu digemarinya beberapa serial TV dan film yang mengangkat tema hidup melajang. Film dan sinetron tersebut beberapa tahun terakhir sedikit banyak telah merubah pandangan masyarakat tentang pernikahan ke arah yang lebih moderat. Wanita Korea tidak lagi merasa terpaksa menghadiri blind date yang diatur untuknya kemudian menikah untuk menyenangkan keluarganya dan memenuhi tuntutan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Jika saat ini, anda bertanya pada wanita usia 20-an dan awal 30-an tentang pernikahan, mungkin mereka akan mengatakan pernikahan bukanlah lagi sebuah keharusan untuk dijalani tetapi lebih sebagai sebuah pilihan. Saya jadi teringat apa yang pernah ditulis oleh Ayu Utami; Jika hidup melajang lebih nyaman, kenapa harus menikah?
Thursday, July 01, 2004
Perempuan Pemimpin
Perempuan Pemimpin
Sejumlah tokoh lembaga swadaya masyarakat dan intelektual menolak fatwa sebagian ulama Nahdlatul Ulama yang mengharamkan umat Islam memilih presiden wanita. Rektor Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azumardi Azra menilai fatwa ulama NU itu menyesatkan. Menurut dia, seharusnya symbol-simbol agama tidak dibawa ke dunia politik karena dikhawatirkan dapat melecehkan agama dan menimbulkan konflik. Fatwa ini juga dinilai sebagai bentuk persaingan antara dua calon wakil presiden dari NU. (Liputan6.com, 6 Juni 2004)
Terlepas dari kontroversinya, berita mengenai fatwa sebagian ulama Nahdlatul Ulama yang mengharamkan umat Islam memilih presiden wanita membangkitkan rasa ingin tahu saya lebih jauh akan kepatutan seorang perempuan menjadi pemimpin.
Perempuan memiliki peranan dalam sejarah negeri ini yang amat menarik untuk ditelusuri. Satu tempat yang menarik perhatian adalah Aceh Darussalam yang banyak melahirkan perempuan pemimpin pada jamannya. Jauh sebelum Kartini memperjuangkan realitas kaumnya, para perempuan Aceh telah memiliki dan mendapat ruang yang luas untuk mengembangkan diri di berbagai bidang, semisal politik, sosial serta agama.
Tengoklah Ratu Nihrasiyah yang memegang pemerintahan di Kerajaan Samudra Pasai pada tahun 1400 sampai 1428. Atau juga seorang perempuan bernama Laksamana Malahayati, Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV. Ia memimpin armada yang sebagian prajuritnya terdiri dari janda-janda (inong bale) pahlawan yang tewas, untuk melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda. Sampai-sampai penulis Belanda Marie van Zuchtelen dalam bukunya Vrouwelijke Admiral Malahayati menyebutkan bahwa armada ini terdiri dari sekitar 2.000 prajurit perempuan yang gagah, tangkas dan berani.
Masih ada lagi cerita pembebasan Iskandar Muda oleh dua orang pimpinan perempuan, yaitu Laksamana Leurah Ganti dan Laksamana Muda Tjut Meurah Inseuen bersama Resimen Pengawal Istananya (Suke Kaway Istana) yang terdiri dari Si Pai Inong (prajurit-prajurit perempuan). Bahkan, Aceh pernah dipimpin oleh empat ratu (sultanah) berturut-turut selama 60 tahun (1641 - 1699), yaitu Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah, Sri Ratu Nur Alam Nakiatuddin Syah, Sri Ratu Inayat Syah Zakiatuddin Syah dan Sri Ratu Kumala Syah.
Sampai pada kisah Ratu Kumala Syah, diceritakan bahwa Syarif Hasyim, salah seorang dari kaum Wujudiah yang menentang adanya sultan perempuan, menikahi sang ratu untuk mempercepat kejatuhannya. Sementara itu, kaum Wujudiah terus menerus mengadu kepada Syarif Mekkah hingga datangnya surat Mufti Mekkah yang menegaskan ketidaksetujuannya perempuan menjadi Sultanah Aceh. Dan akhirnya, Ratu Kumala dimaksulkan dari tahta dan diganti suaminya, Syarif Hasyim. Dari kisah ini, tiba-tiba saya membayangkan Ratu Kumala sebagai Megawati Soekarno Putri sedang Syarif Hasyim dan kaum Wujudiah sebagai...... Ah, itu hanya pikiran nakal saya saja.
Seketat itukah Islam meniadakan kesempatan perempuan untuk menjadi pemimpin, presiden atau ratu? Rasanya fatwa yang dikeluarkan oleh NU di negara Indonesia yang masih menganut paham sekuler menjadi sesutu yang aneh, jika dibandingkan dengan Aceh Darussalam yang jelas-jelas mengambil Islam sebagai dasar pemerintahan tetapi masih memberi ruang yang luas bagi perempuan untuk mengambil peran, tidak terkecuali sebagai pemimpin atau sultanah.
Bagi saya, siapa pun pemimpin itu, perempuan atau laki-laki tanpa terkecuali, selama ia bisa membawa kemaslahatan untuk orang banyak kenapa tidak dipilih? Seperti pernyataan seorang ulama klasik Ibn al-Qayyim al-Jawzi: Politik, (yang direstui Islam), adalah yang benar-benar mendatangkan kemaslahatan bagi manusia dan menjauhkan kerusakan dari mereka, sekalipun ia tidak dilakukan oleh Nabi SAW dan tidak diturunkan dalam teks-teks wahyu.
Hanya saja, saat ini amatlah sulit untuk menemukan seorang perempuan pemimpin dibanding pemimpin perempuan yang bisa dikendalikan oleh siapa saja.
------------
Catatan: Saya bukan pendukung Mega!!!
(Besok hari ketujuh blogspot menghilang di sini. Doneeh juga error. Akhirnya dengan berat hati pindah ke yang lain........ ~~)
Sejumlah tokoh lembaga swadaya masyarakat dan intelektual menolak fatwa sebagian ulama Nahdlatul Ulama yang mengharamkan umat Islam memilih presiden wanita. Rektor Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azumardi Azra menilai fatwa ulama NU itu menyesatkan. Menurut dia, seharusnya symbol-simbol agama tidak dibawa ke dunia politik karena dikhawatirkan dapat melecehkan agama dan menimbulkan konflik. Fatwa ini juga dinilai sebagai bentuk persaingan antara dua calon wakil presiden dari NU. (Liputan6.com, 6 Juni 2004)
Terlepas dari kontroversinya, berita mengenai fatwa sebagian ulama Nahdlatul Ulama yang mengharamkan umat Islam memilih presiden wanita membangkitkan rasa ingin tahu saya lebih jauh akan kepatutan seorang perempuan menjadi pemimpin.
Perempuan memiliki peranan dalam sejarah negeri ini yang amat menarik untuk ditelusuri. Satu tempat yang menarik perhatian adalah Aceh Darussalam yang banyak melahirkan perempuan pemimpin pada jamannya. Jauh sebelum Kartini memperjuangkan realitas kaumnya, para perempuan Aceh telah memiliki dan mendapat ruang yang luas untuk mengembangkan diri di berbagai bidang, semisal politik, sosial serta agama.
Tengoklah Ratu Nihrasiyah yang memegang pemerintahan di Kerajaan Samudra Pasai pada tahun 1400 sampai 1428. Atau juga seorang perempuan bernama Laksamana Malahayati, Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV. Ia memimpin armada yang sebagian prajuritnya terdiri dari janda-janda (inong bale) pahlawan yang tewas, untuk melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda. Sampai-sampai penulis Belanda Marie van Zuchtelen dalam bukunya Vrouwelijke Admiral Malahayati menyebutkan bahwa armada ini terdiri dari sekitar 2.000 prajurit perempuan yang gagah, tangkas dan berani.
Masih ada lagi cerita pembebasan Iskandar Muda oleh dua orang pimpinan perempuan, yaitu Laksamana Leurah Ganti dan Laksamana Muda Tjut Meurah Inseuen bersama Resimen Pengawal Istananya (Suke Kaway Istana) yang terdiri dari Si Pai Inong (prajurit-prajurit perempuan). Bahkan, Aceh pernah dipimpin oleh empat ratu (sultanah) berturut-turut selama 60 tahun (1641 - 1699), yaitu Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah, Sri Ratu Nur Alam Nakiatuddin Syah, Sri Ratu Inayat Syah Zakiatuddin Syah dan Sri Ratu Kumala Syah.
Sampai pada kisah Ratu Kumala Syah, diceritakan bahwa Syarif Hasyim, salah seorang dari kaum Wujudiah yang menentang adanya sultan perempuan, menikahi sang ratu untuk mempercepat kejatuhannya. Sementara itu, kaum Wujudiah terus menerus mengadu kepada Syarif Mekkah hingga datangnya surat Mufti Mekkah yang menegaskan ketidaksetujuannya perempuan menjadi Sultanah Aceh. Dan akhirnya, Ratu Kumala dimaksulkan dari tahta dan diganti suaminya, Syarif Hasyim. Dari kisah ini, tiba-tiba saya membayangkan Ratu Kumala sebagai Megawati Soekarno Putri sedang Syarif Hasyim dan kaum Wujudiah sebagai...... Ah, itu hanya pikiran nakal saya saja.
Seketat itukah Islam meniadakan kesempatan perempuan untuk menjadi pemimpin, presiden atau ratu? Rasanya fatwa yang dikeluarkan oleh NU di negara Indonesia yang masih menganut paham sekuler menjadi sesutu yang aneh, jika dibandingkan dengan Aceh Darussalam yang jelas-jelas mengambil Islam sebagai dasar pemerintahan tetapi masih memberi ruang yang luas bagi perempuan untuk mengambil peran, tidak terkecuali sebagai pemimpin atau sultanah.
Bagi saya, siapa pun pemimpin itu, perempuan atau laki-laki tanpa terkecuali, selama ia bisa membawa kemaslahatan untuk orang banyak kenapa tidak dipilih? Seperti pernyataan seorang ulama klasik Ibn al-Qayyim al-Jawzi: Politik, (yang direstui Islam), adalah yang benar-benar mendatangkan kemaslahatan bagi manusia dan menjauhkan kerusakan dari mereka, sekalipun ia tidak dilakukan oleh Nabi SAW dan tidak diturunkan dalam teks-teks wahyu.
Hanya saja, saat ini amatlah sulit untuk menemukan seorang perempuan pemimpin dibanding pemimpin perempuan yang bisa dikendalikan oleh siapa saja.
------------
Catatan: Saya bukan pendukung Mega!!!
(Besok hari ketujuh blogspot menghilang di sini. Doneeh juga error. Akhirnya dengan berat hati pindah ke yang lain........ ~~)
Subscribe to:
Posts (Atom)